Mantan Ketua Dewan Gereja Metodis sekaligus Master Perbandingan Agama dari Havard University Akhirnya Pilih Islam
Mantan Ketua Dewan Gereja Metodis sekaligus Master Perbandingan Agama dari Havard University Akhirnya Pilih Islam
Jerald F Dirks , sebelumnya ialah seorang
pendeta yang dinobatkan sebagai Ketua Dewan Gereja Metodis Kini peraih gelar
Bachelor of Arts (BA) dan Master of Divinity (M Div) dari Universitas Harvard,
serta pemegang gelar Master of Arts (MA) dan Doctor of Psychology (Psy D) dari
Universtas Denver, Amerika Serikat, menjalani kehidupan sebagai seorang muslim.
Dibesarkan di tengah lingkungan masyarakat penganut kepercayaan Kristen
Metodis, membuat Jerald kecil terbiasa dengan suara dentingan lonceng yang
kerap mengalun dari sebuah bangunan tua Gereja Kristen Metodis yang berjarak
hanya dua blok dari rumahnya. Bunyi lonceng yang bergema setiap Minggu pagi ini
menjadi tanda bagi seluruh anggota keluarganya agar segera menghadiri kebaktian
yang diadakan di gereja.
Tidak hanya dalam urusan kebaktian saja, tetapi juga dalam setiap kegiatan
yang diselenggarakan oleh pihak Gereja Kristen Metodis, seluruh anggota
keluarga ini turut terlibat secara aktif. Karenanya tak mengherankan jika sejak
usia kanak-kanak Jerald sudah diikutsertakan dalam kegiatan yang diadakan oleh
pihak gereja. Salah satunya adalah mengikuti sekolah khusus selama dua pekan
yang diadakan oleh pihak gereja setiap bulan Juni. Selama mengikuti sekolah
khusus ini, para peserta mendapat pengajaran mengenai Bibel.
”Secara rutin saya mengikuti sekolah khusus ini hingga memasuki tahun
kedelapan, selain kebaktian Minggu pagi dan sekolah Minggu yang diadakan setiap
akhir pekan,” ungkap muallaf kelahiran Kansas tahun 1950 ini. Diantara para
peserta sekolah khusus ini, Jerald termasuk yang paling menonjol. Tidak pernah
sekalipun ia absen dari kelas. Dan dalam hal menghafal ayat-ayat dalam Bibel,
ia kerap mendapatkan penghargaan.
Keikutsertaan Jerald dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh
komunitas Gereja Metodis terus berlanjut hingga ia memasuki jenjang Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Diantaranya ia terlibat secara aktif dalam organisasi
kepemudaan Kristen Metodis. Dia juga kerap mengisi khotbah dalam acara
kebaktian Minggu yang khusus diadakan bagi kalangan anak muda seusianya.
Dalam perjalanannya, khotbah yang ia sampaikan ternyata menarik minat
komunitas Kristen Metodis di tempat lain. Ia pun kemudian diminta untuk memberikan
khotbah di gereja lain, panti jompo, dan dihadapan organisasi-organisasi
kepemudaan yang berafiliasi dengan Gereja Metodis. Sejak saat itu Jerald
bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta kelak.
Ketika diterima di Universitas Harvard, Jerald tidak mensia-siakan
kesempatan demi mewujudkan cita-citanya itu. Ia mendaftar pada kelas
perbandingan agama yang diajar oleh Wilfred Cantwell Smith untuk dua semester.
Di kelas perbandingan agama ini Jerald mengambil bidang keahlian khusus agama
Islam.
Namun, selama mengikuti kelas ini Jerald justru lebih tertarik untuk
mempelajari agama Budha dan Hindu. Dibandingkan dengan Islam, menurut dia,
kedua ajaran agama ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan keyakinan yang ia
anut selama ini.
Akan tetapi untuk memenuhi tuntutan standar kelulusan akademik, Jerald
diharuskan untuk membuat makalah mengenai konsep wahyu dalam Alquran. Ia mulai
membaca berbagai literatur buku mengenai Islam, yang sebagian besar justru
ditulis oleh para penulis non-muslim. Ia juga membaca dua Alquran terjemahan
bahasa Inggris dalam versi yang berbeda.
Diluar dugaannya buku-buku tersebutlah yang di kemudian hari justru
membimbingnya ke kondisi seperti saat ini. Makalah tersebut membuat pihak
Harvard memberikan penghargaan Hollis Scholar kepada Jerald. Sebuah penghargaan
tertinggi bagi para mahasiswa jurusan Teologi Universitas Harvard yang dinilai
berprestasi.
Untuk mewujudkan cita-citanya, bahkan Jerald rela mengisi liburan musim
panasnya dengan bekerja sebagai seorang pendeta cilik di sebuah Gereja Metodis
terbesar di negeri Paman Sam tersebut. Pada musim panas itu pula ia mendapatkan
sertifikat untuk menjadi seorang pengkhotbah dari pihak Gereja Metodis Amerika.
Setelah lulus dari Harvard College di tahun 1971, Jerald langsung mendaftar
di Harvard Divinity School atau sejenis sekolah tinggi teologi atas beasiswa
dari Gereja Metodis Amerika. Selama menempuh pendidikan di bidang teologi,
Jerald juga mengikuti program magang sebagai di Rumah Sakit Peter Bent Brigham
di Boston.
Ia lulus dari sekolah tinggi ini tahun 1974 dan mendapatkan gelar Master di
bidang teologi. Selepas meraih gelar master teologi, ia sempat menghabiskan
liburan musim panasnya dengan menjadi pendeta pada dua Gereja Metodis Amerika
yang berada di pinggiran Kansas.
Aktivitasnya sebagai seorang pendeta tidak hanya terbatas di lingkungan
gereja saja. Ia mulai merambah ke cakupan yang lebih luas, mulai dari
lingkungan sekolah, perkantoran, hingga pesan-pesan ajaran Kristen Metodis ia
juga gencar sampaikan kepada para pasien yang datang ke tempat praktiknya
sebagai seorang dokter ahli kejiwaan.
Meninggalkan aktivitas gereja
Namun, berbagai upaya dakwah ini dinilainya tidak memberikan dampak positif
terhadap kehidupan masyarakat di sekitar ia tinggal. Ia justru menyaksikan
terjadinya penurunan moralitas di tengah-tengah kehidupann beragama masyarakat
Amerika. Bahkan kondisi serupa juga terjadi di lingkungan gereja.
”Dua dari tiga pasangan di Amerika selalu berakhir dengan perceraian, aksi
kekerasan meningkat di lingkungan sekolah dan di jalanan, tidak ada lagi rasa
tanggung jawab dan disiplin di kalangan anak muda. Bahkan yang lebih
mencengangkan diantara para pemuka Kristen ada yang terlibat dalam skandal seks
dan keuangan. Masyarakat Amerika seakan-akan sedang menuju kepada kehancuran
moral,” paparnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Jerald mengambil keputusan untuk menyendiri
dan tidak lagi menjalani aktivitasnya memberikan pelayanan dan khotbah kepada
para jemaat. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk ikut terlibat aktif dalam
kegiatan penelitian yang dilakukan oleh sang istri. Penelitian mengenai sejarah
kuda Arab ini membuat ia dan istrinya melakukan banyak kontak dengan warga
Amerika keturunan Muslim Arab . Salah satunya adalah dengan Jamal.
Babak pergaulan dengan Arab Muslim
Pertemuan Jerald dengan pria Arab-Amerika ini pertama kali terjadi pada
musim panas tahun 1991. Dari awalnya sekedar berhubungan melalui sambungan
telepon, kemudian berlanjut pada saat Jamal berkunjung ke rumah Jerald. Pada
kunjungan kali pertama ini, Jamal menawarkan jasa untuk menterjemahkan berbagai
literatur dari bahasa Arab ke Inggris yang disambut baik oleh Jerald dan
istrinya.
Ketika waktu shalat ashar tiba, sang tamu kemudian meminta izin agar
diperbolehkan menggunakan kamar mandi dan meminjam selembar koran untuk
digunakan sebagai alas shalat. Apa yang diminta oleh tamunya itu diambilkan
oleh Jerald, kendati dalam hati kecilnya ia berharap bisa meminjamkan sesuatu
yang lebih baik dari sekedar lembaran surat kabar sebagai alas shalat. Untuk
kali pertama ia melihat gerakan shalat dalam agama Islam.
Aktivitas shalat ashar itu terus ia lihat manakala Jamal dan istrinya
berkunjung ke rumah mereka seminggu sekali. Dan, hal itu membuat Jerald
terkesima. ”Selama berada di rumah kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan
komentar mengenai agama yang kami anut. Begitu juga ia tidak pernah
menyampaikan ajaran agama yang diyakininya kepada kami. Yang dia lakukan hanya
memberikan contoh nyata yang amat sederhana, seperti berbicara dengan suara
serendah mungkin jika ada diantara kami yang bertanya mengenai agamanya. Ini
yang membuat kami kagum,” ungkapnya.
Dari perkenalannya dengan Jamal dan keluarganya, justru Jerald mendapat
banyak pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan sebelumnya. Sang tamu telah
menunjukkan kepadanya sebuah pelajaran disiplin melalui shalat yang
dilaksanakannya. Selain pelajaran moral dan etika yang diperlihatkan Jamal
dalam urusan bisnis dan sosialnya serta cara Jamal berkomunikasi dengan kedua
anaknya. ”Begitu juga yang dilakukan oleh istrinya menjadi contoh bagi
istriku.”
Tidak hanya itu, dari kunjungan tersebut Jerald juga mendapatkan pengetahuan
seputar dunia Arab dan Islam. Dari Jamal, ia bisa mengetahui tentang sejarah
Arab dan peradaban Islam, sosok Nabi Muhammad, serta ayat-ayat Alquran berikut
makna yang terkandung di dalamnya. Setidaknya Jerald meminta waktu kurang lebih
30 menit kepada tamunya untuk berbicara mengenai segala aspek seputar Islam.
Dari situ, diakui Jerald, dirinya mulai mengenal apa dan bagaimana itu Islam.
Kemudian oleh Jamal, Jerald sekeluarga diperkenalkan kepada keluarga Arab
lainnya di masyarakat Muslim setempat. Diantaranya keluarga Wa el dan keluarga
Khalid. Dan secara kontinyu, ia melakukan interaksi sehari-hari dengan
komunitas keluarga Arab Amerika ini. Dari interaksi tersebut, Jerald
mendapatkan sesuatu ajaran dalam Islam yang selama ini tidak ia temui manakalan
berinteraksi dengan komunitas masyarakat Kristen, yakni rasa persaudaraan dan
toleransi.
Baru di awal Desember 1992, sebuah pertanyaan mengganjal timbul dalam
pikirannya, ”Dirinya adalah seorang pemeluk Kristen Metodis, tapi kenapa dalam
keseharian justru bergaul dan berinteraksi dengan komunitas masyarakat Muslim
Arab?.” Sebuah komunitas masyarakat yang menurutnya menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan etika, serta mengedepankan sikap saling menghargai baik
terhadap pasangan masing-masing, anggota keluarga maupun sesama. Sebuah kondisi
yang pada masa sekarang hampir tidak ia temukan dalam masyarakat Amerika.
Serangkaian Kejadian Tak Terduga
Untuk menjawab keraguannya itu, Jerald memutuskan untuk mempelajari lebih
dalam ajaran Islam melalui kitab suci Alquran. Dalam perjalanannya mempelajari
Aquran, sang pendeta ini justru menemukan nilai-nilai yang sesuai dengan hati
kecilnya yang selama ini tidak ia temukan dalam doktrin ajaran Kristen yang
dianutnya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak lantas membuatnya memutuskan untuk
masuk Islam. Ia merasa belum siap untuk melepaskan identitas yang dikenakan
selama hampir 43 tahun lamanya dan berganti identitas baru sebagai seorang
muslim.
Begitu pun ketika ia bersama sang istri memutuskan untuk mengunjungi kawasan
Timur Tengah di awal tahun 1993. Ketika itu, ia seorang diri makan di sebuah
restoran yang hanya menyajikan makanan Arab setempat. Sang pemilik restoran,
Mahmoud, kala itu memergoki dirinya tengah membaca sebuah Alquran terjemahan
bahasa Inggris. Tanpa berkata sepatah kata pun, Mahmoud melontarkan senyum ke
arah Jerald.
Kejadian tak terduga lagi-lagi menghampirinya. Istri Mahmoud, Iman, yang
merupakan seorang Muslim Amerika, mendatangi mejanya sambil membawakan menu
yang ia pesan. Kepadanya Iman berkomentar bahwa buku yang ia baca adalah sebuah
Alquran. Tidak hanya itu, Iman juga bertanya apakah Jerald seorang muslim sama
seperti dirinya. Pertanyaan tersebut lantas ia jawab dengan satu kata: Tidak.
Namun ketika Imam menghampiri mejanya untuk menyerahkan bukti tagihan, tanpa
disadari Jerald melontarkan kalimat permintaan maaf atas sikapnya, seraya
berkata: ”Saya takut untuk menjawab pertanyaan Anda tadi. Namun jika Anda
bertanya kepada saya apakah saya percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, maka
jawaban saya adalah ya. Jika Anda bertanya apakah saya percaya bahwa Muhammad
adalah salah satu utusan Tuhan, maka jawaban saya akan sama, iya.” Mendengar
jawaban tersebut, Iman hanya berkata: ”Tidak masalah, mungkin bagi sebagian
orang butuh waktu lama dibandingkan yang lain.”
Ikut berpuasa dan shalat
Ketika memasuki minggu kelima masa liburannya di Timur Tengah atau
bertepatan dengan masuknya bulan Ramadhan yang jatuh pada bulan Maret tahun
1993, untuk kali pertama Jerald dan istrinya menikmati suasana lain dari ibadah
orang Muslim. Demi menghormati masyarakat sekitar, ia dan istri ikut serta
berpuasa. Bahkan pada saat itu, Jerald juga mulai ikut-ikutan melaksanakan
shalat lima waktu bersama-sama para temannya yang Muslim dan kenalan barunya
yang berasal dari Timur Tengah.
Bersamaan dengan akan berakhirnya masa liburannya menjelajah kawasan Timur
Tengah, hidayah tersebut akhirnya datang. Peristiwa penting dalam hidup Jerald
ini terjadi manakala ia diajak seorang teman untuk mengunjungi Amman, ibukota
Yordania.
Pada saat ia melintas di sebuah jalan di pusat ibukota, tiba-tiba seseorag
lelaki tua datang menghampirinya seraya mengucapkan, Salam Alaikum dan
mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, serta melontarkan pertanyaan
apakah iaseorang Muslim?. Sapaan salam dalam ajaran Islam itu membuatnya kaget.
Di sisi lain, karena kendala bahasa, ia bingung harus menjelaskan dengan cara
apa ke orang tua tersebut bahwa ia bukan seorang Muslim. Terlebih lagi teman
yang bersamanya juga tidak mengerti bahasa Arab.
Mengikrarkan Keislaman
Saat itu Jerald merasa dirinya tengah terjebak dalam situasi yang sulit
diungkapkan. Pilihan yang ada dihadapannya saat itu hanya dua, yakni berkata
N’am yang artinya iya atau berkata La yang berarti tidak. Hanya ia yang bisa
menentukan pilihan tersebut, sekarang atau tidak sama sekali.
Setelah berpikir agak lama dan memohon petunjuk dari Allah, Jerald pun
menjawabnya dengan perkataan N’am. Sejak peristiwa tersebut, ia resmi
menyatakan diri masuk Islam. Beruntung hidayah tersebut juga datang lepada
istrinya di saat bersamaan. Sang istri yang kala itu berusia 33 tahun juga
menyatakan diri sebagai seorang Muslimah.
Bahkan tidak lama berselang setelah kepulangannya ke Amerika, salah seorang
tetangganya yang juga merupakan seorang pendeta mendatangi kediamannya dan
menyatakan ketertarikannya tehadap ajaran Islam. Dihadapannya, tetangganya yang
telah berhenti menjadi pendeta Metodis ini pun berikrar masuk Islam.
Kini hari-hari Jerald dihabiskan untuk kegiatan menulis dan memberikan
ceramah tentang Islam dan hubungan antara Islam dan Kristen. Bahkan ia juga
kerap diundang sebagai bintang tamu dalam program Islam di televisi di banyak
negara.
Kunjungi juga : http://keigami.blogspot.com
0 komentar: